Titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Akan tetapi, ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama; mereka tetap berpijak di permukaan bumi. Itu bukan dua hal yang saling bertentangan. Sebab, di pertengahannya ada sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa beririsan: optimisme.
Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral daripada mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Namun, mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah. Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapatkan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah. Bahwasanya mereka kemudian gugur di perjalanan atau hidup dan menyaksikan kemenangan itu, maka itu semua hanya merupakan cara Allah membagi-bagi keutamaan-Nya kepada para tentara-Nya.
Dari keyakinan-keyakinan seperti inilah mereka menemukan kejujuran iman, dan dari kejujuran iman itulah mereka menemukan mata air kekuatan jiwa yang memberi mereka harapan dan optimisme: "Di antara orang-orang beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu (sampai saat kemenangan), dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (Al Ahzab: 23).
Namun, mereka sepenuhnya percaya pada sebuah hikmah Allah; bahwa Allah hanya mau memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Sebab jika tidak demikian, Allah tidak perlu mengutus nabi dan rasul, mewajibkan jihad, dan memilih syuhada. Tantangan-tantangan itu diciptakan untuk menguji kejujuran iman yang terpatri dalam jiwa para pahlawan mukmin. Mukjizat atau karomah tentu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu, tetapi itu berfungsi penguat, bukan penyelesaian misi. Ketentuan itulah yang membuat mereka harus realistis dalam menata garis perjuangan. Sebab, mereka bergerak dalam ruang yang terbatas, waktu dan tempat yang terbatas, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, dan sumber-sumber finansial yang terbatas serta technical resources yang sama terbatasnya.
Dalam segala hal ada keterbatasan. Itulah sebabnya mereka harus bekerja efektif dan menggunakan tenaga seefisien mungkin. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak berjuang. Sebab, Allah berfirman, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu..." (At Taghabun: 16). Bahkan, nilai kepahlawanan itu sesungguhnya terletak pada capaian-capaian besar di atas keterbatasan.
Keterbatasan itu ditata dalam konsep yang mereka sebut sebagai hukum alam, atau yang kita sebut sebagai sunatullah. Kita semua bergerak dalam kerangka sunatullah itu. Dan, para pahlawan itu bukanlah manusia istimewa yang turun dari langit denga hak-hak istimewa untuk tidak mentaati sunatullah. Mereka menjadi istimewa karena mereka menggunakan kaidah yang pernah diucapkan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Jangan pernah melawan sunatullah pada alam, sebab ia pasti mengalahkanmu. Tapi, gunakanlah sebagiannya untuk menundukkan sebagian yang lain, niscaya kamu akan sampai ke tujuan".
Anis Matta
dalam "Mencari Pahlawan Indonesia"
Chapter 7
Optimisme
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar