Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan." Muttafaq Alaihi.

<_-.-'"-...-+"* InDahnYa UkHuWAH* .-_..-''**'-..(

“Allahu akbar...Allahu akbar...” terdengar suara adzan dari corong masjid sekolah memanggil untuk sholat di siang yang terik itu−saat jam istirahat sekolah.
“Had, ayo ambil wudhu!” ajak Agus pada teman karibnya itu.
Hadi cepat-cepat mengikuti temannya untuk duduk di serambi masjid dan melepas sepatunya.
“Kamu duluan saja, nanti segera kususul,” jawab Hadi sesaat kemudian.
Sesaat sebelumnya sempat diliriknya sepatu di dekatnya, sepatu kumal yang sudah tak lagi hitam−walau dulu awalnya juga hitam, tapi kini telah pudar oleh sengatan matahari− dan telah robek-robek di sekitar lubang untuk memasukkan kaki. Sering Hadi berkhayal sepatu sebelah kanannya itu seperti ikan paus yang sedang membuka mulutnya lebar-lebar dan terlihatlah lidah putihnya−kaos kaki pemiliknya− jika saja dua peniti yang menahannya terlepas. No 40, begitu tulisan samar dari sepatu itu. Entah kapan Agus membelinya, yang Hadi tahu sejak mereka berkenalan pada MOS SMA sampai saat ini mereka kelas XII, sepatu itulah satu-satunya yang pernah dipakai Agus.
“He Had, kok masih disitu? Sudah mau iqomah lho,” sapaan Agus membuyarkan lamunan Hadi.

<--------------------***-----------+_--'"***;.;;;;)----------->

“Ini untukmu,” kata Hadi sambil menyodorkan bungkusan tas plastik keesokan harinya sepulang sekolah.
“Apa ini?” tanya Agus dengan heran.
Namun yang ditanya hanya tersenyum dan menempelkan bungkusan tas plastik itu ke tubuh Agus dan melepaskannya. Hal itu tentu membuat Agus terpaksa menangkap bungkusan itu agar tidak terjatuh. Agus membuka kotak kardus dalam bungkusan itu, sepatu hitam baru.
“Maaf, aku tak bisa menerima ini,” kata Agus sambil tersenyum dan menyodorkan bungkusan itu serta melakukan hal yang sama dengan cara Hadi memberikannya.
“Bruuk...” bungkusan itu jatuh ke lantai, Hadi tak menangkapnya.
Selama beberapa saat bungkusan itu hanya tergeletak di lantai, tak ada yang memungutnya. Hening.
“Ayolah Had...kau tak perlu memberiku barang semahal ini,” kata Agus setelah memungut bungkusan itu dan menyodorkannya lagi ke Hadi.
“Itu bukan barang yang mahal, aku sengaja membelinya dengan uang sakuku, sepatu ukuran 40 sesuai ukuranmu,” kata Hadi sambil melirik sepatu kumal yang dikenakan Agus.
“Aku tahu...” kata Agus sambil memandang sepatunya,”tapi insyaAllah, sebenarnya kalau aku mau, orang tuaku pun masih mampu membelikannya untukku.”
“Aku tak ingin berhutang budi padamu−tiap kali kau membelikan barang-barang ini itu,” kata Agus melanjutkan.
“Tapi aku tidak sedang memberimu piutang yang harus kau bayar suatu hari nanti, aku hanya ingin MEMBERIKAN sepatu ini padamu, itu saja tanpa syarat,” kata Hadi sungguh-sungguh.
“Kau bisa memberikanya untuk orang yang lebih membutuhkannya dari pada aku,” kata Agus sambil tersenyum, ”aku sungguh berterimakasih atas perhatianmu, tapi tolong !”
“Tapi aku membelikannya untukmu,” kata Hadi hampir tak terdengar.
Namun dengan enggan diterimanya kembali bungkusan itu. Mungkin Agus juga tahu, temannya itu tak kan dapat menolak permohonannya.

<--------------------***-----------+_--'"***;.;;;;)----------->

“Maafkan aku ya Had, walau ku tahu aku tulus namun tetap saja aku akan merasa berhutang budi padamu tiap kali kau membelikan barang-barang itu. Kata orang *orang kaya punya harta benda yang bisa mereka banggakan, namun orang miskin hanya punya harga diri untuk dipertahankan*. Aku tidak mau menyusahkan orang lain, aku tidak mau orang lain mengasihaniku. Sungguh walau tak sekaya dirimu, tapi orang tuaku masih mampu, namun aku hanya mencoba belajar bersifat qonaah. Dan aku tak ingin kau terus menghargai persahabatan kita dengan harta. Ku harap kau mengerti, inilah yang terbaik.”
“Kenapa begitu Gus? Padahal ketika aku berniat memberikan kejutan hadiah sepatu ini untukmu, kupikir itu adalah hal yang sangat baik. Mungkin kau tersinggung ketika aku memberikannya padamu, tapi aku tak berpikir kau tak mampu membelinya sendiri. Aku hanya ingin memberikannya untukmu, aku hanya ingin menghilangkan sumbatan di dadaku tiap kali harus melihat sepatumu dan sepatuku bergantian dan aku juga tiap melihat tatapan itu dari teman-teman yang lain. Sumbatan itu terasa membuatku seperti...teman yang tak berguna. Apa salah jika yang kuberikan berupa harta benda? Karena aku takkan mampu sepertimu yang bisa memberikan ilmu-ilmu agamamu padaku, menceritakan ulang apa yang kau dapat dari ngaji kitab−entah apa nama kitabnya−kemarin sore. Yang kupunya lebih dari padamu adalah harta, walaupun lebih tepatnya harta dari orang tuaku.Tapi...”
Namun itu hanya monolog di hati Agus dan Hadi masing-masing. Roda sepeda jengki Agus berputar ke barat begitu juga roda motor tiger Hadi yang melaju ke timur untuk membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Sengatan matahari siang masih menemani mereka yang sedang berdebat dengan pemikirannya sendiri-sendiri. Suatu dilema pepatah “kalau tidak mau dicubit jangan mencubit” dan “jangan menyamakan ukuran sepatumu dengan ukuran sepatu orang lain.” Namun seperti halnya roda sepeda dan motor mereka yang berputar, waktupun terus berputar dan mungkin suatu hari nanti mereka akan menemukan titik equilibrium, titik keseimbangan yang menemukan dua pepatah tersebut.

NB : FIKSI
Bumi Allah , 10 Jan 2010 *update coretan_akhwat II* in Blog MT Online

Ikhwah baca juga yang ini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Home | Gallery | Tutorials | Freebies | About Us | Contact Us

Copyright MTNI ONLINE © 2009 Dakwatuna |Designed by faris vio|Modified by Ismi Ikhwanfillah |Converted to blogger by Team Redaksi Blogger MTNI ONLINE